I Nyoman Masriadi, Pelukis Termahal Indonesia
"Saya nggak mau jadi pelukis Bali, pelukis Jawa,
pelukis Sumatera, atau pelukis Indonesia. Saya mau jadi pelukis dunia. Semua
pelukis juga ingin begitu. Siapa yang nggak mau seperti Andy Warhol."
Masriadi |
Pria kelahiran
Gianyar, Bali, 28 Oktober
1973 ini, sangat intens dalam menekuni dunia lukisan. Intensitasnya tersebut
tampak pada kemampuannya dalam menampilkan potensi-potensi medium itu. Potensi
tersebut tentu bukan semata soal teknis penggambaran, warna, atau komposisi,
melainkan juga lukisan
sebagai idiom.
Lukisan sendiri adalah "ibu"
seni rupa, dalam sejarah ia selalu merevitalisasi dirinya, sesuai dengan
kekuatannya dalam wacana representasi pictorial. Secara histories, wacana seni
lukis selalu memperbincangkan antara aspek ilusif (karakter kedalaman) dan flatness
(karakter kedataran). Karya Masriadi merupakan bentuk representasi pictorial,
artinya sebuah penghadiran ulang yang menyandarkan pada kemiripan ikonik.
Penghadiran tersebut mempergunakan medium spesifik: lukisan.
Pada awalnya, karya Masriadi
menunjukkan fenomena menarik, di satu sisi karyanya tampak seperti ilusif,
namun cara penggambaran gelap-terang yang diterapkan pada elemen-elemen objek
(bukan pada kesatuan yang menyeluruh), menyebabkan karyanya terasa flat.
Dalam karya-karya berikutnya, Masriadi
banyak mengolah aspek ilusif dalam lukisan.
Seiring perubahan cara penggarapan tersebut, Ia menemukan sebuah ekspresi yang
sangat berbeda dengan karya sebelumnya. Dalam karya-karya ini, dimensi ilusif
itu menghasilkan kedalaman, jarak, dan ruang. Di sini ekspresi akan ketenangan
dan kesunyian mengedepan, sangat berbeda dengan karya sebelumnya yang flat,
fokus pada satu objek, dan terasa "ramai". Masriadi memperlihatkan
bagaimana kefasihannya terhadap medium ungkap sangatlah berpengaruh pada
kemungkinan intensi seniman dalam menghasilkan sebuah ekspresi yang spesifik.
Masriadi
mengawali eksplorasi melukisnya di Institut Seni Indonesia. Karirnya dimulai
sejak ia kembali ke Bali dan menetap di Yogyakarta. Semasa di Bali ia
berkenalan dengan beberapa kolektor, menjual lukisannya dari rumah ke rumah,
dan sempat ditolak sana-sini.
Pada
1999-2000, Masriadi mulai tinggal di Yogyakarta dan menjalin kerjasama dengan
kolektor serta galeri seni. Awalnya ia sering memberikan karyanya secara cuma-cuma
kepada orang yang memang menyukai lukisannya. Tapi, ia sempat kecewa karena
setelah beberapa lama, karya itu malah dijual tanpa ada pemberitahuan.
Di Yogyakarta,
Masriadi yang pernah bergabung dalam Sanggar Dewata pada 1993 ini merintis
karyanya secara serius. Setelah tidak aktif di sanggar tersebut, ia memilih
untuk melukis sendiri sambil kadangkala mengadakan pameran bersama. Kerjasama
yang khusus dengan satu pihak dan sistem manajemen yang rapi merupakan salah
satu kunci keberhasilan Masriadi menembus pasar Asia.
Selain
memiliki strategi khas dalam percaturan politik seni lukis, Masriadi juga
mempunyai cara yang unik untuk membicarakan zamannya melalui apapun yang
dilukisnya. Manusia-manusia berkulit hitam legam, cokelat tua, biru atau merah
muda, dengan
otot dan urat yang menonjol, sedang melakukan aktivitas sehari-hari, menjadi
salah satu ciri khas karakter sosok yang digambar oleh Masriadi.
Melalui
permainan warna, gelap terang, lekuk tubuh dan ekspresi wajah sosok- sosok
tersebut, Masriadi menemukan cara berbicara tentang pengalaman dan lingkungan
sekitarnya. Karya-karyanya yang berkisah tentang kejadian sehari-hari antara
lain: Aerobik (2000), Dance (1999), Leyeh-leyeh (2000), Listening
(2004), dan Lelaki dengan Pedang Pendek (2006).
Dalam
karya-karyanya, Masriadi kadang juga memperlihatkan semangat guyonnya, misalnya
pada; Week End I, Week End II, Week End III (semua karya tahun 1999). Di
sana ia menggambarkan perempuan kekar berkulit hitam dengan otot-otot yang
menonjol sedang mengadakan ‘ritual akhir pekan’: sikat gigi, mencabuti bulu
ketiak, dan ganti celana.
Mengenai tema,
Masriadi memilih masalah-masalah sosial yang dekat dengan dirinya. Melalui
sosok-sosok manusia dalam lukisannya, ia mengolah tema itu sebagai medium
kritik sosial. Berbagai kritik terhadap masalah-masalah sosial dihadirkan
dengan penuh humor, seperti pada: Album Baru (2000), Bos Cuek
(2000), Bos Bima Mencukur Bapak Arjuna (2002), Kamsiah (2005), Jangan
Tanya Masriadi Tanya Presiden (2007).
Di balik
lukisan-lukisannya yang nyleneh dan sedikit iseng, Masriadi mengaku bahwa tidak
ada objek khusus yang selalu ingin dilukisnya, banyak hal yang bisa digambar.
Menurutnya, objek atau hal apapun yang sering digambar oleh seorang pelukis,
sebenarnya bukan hal penting dari seniman itu. Itu hanya kebiasaan dari sang
pelukis, seperti sarapan, bangun tidur. Demikian juga sosok-sosok manusia yang
sering muncul dalam lukisannya. Mereka bukan hal utama bagi Masriadi. Yang
pokok baginya adalah kemampuan seorang seniman untuk bercerita di balik apa
yang digambarnya, ekspresif dan menampilkan karakter yang kuat.
Tentang Lakunya
sebuah karya dengan harga tinggi, bagi Masriadi adalah sebuah keberuntungan. Ia
percaya bahwa lukisan yang laku dengan harga tinggi bukan berarti itu diminati.
Minat seorang pada lukisan itu tergantung kecintaannya pada lukisan. Di Indonesia
sendiri jarang ada kolektor yang mencintai lukisan.
Sebagai
pelukis, Masriadi memiliki sikap konsisten terhadap apa yang dikerjakannya. Meskipun
lukisannya laku, ia tidak terus membuat lukisan sebanyak-banyaknya, tapi yang
utama setiap lukisannya harus dikerjakan dengan bagus. Berikutnya selain
manajemen yang rapi, yang terpenting baginya adalah ketekunan dan niat dalam
berkarya. (Yunisa)
Sumber:
Stanislaus
Yangni, Nyoman Masriadi: Ingin Berhenti Main di Indonesia, dalam Majalah
Seni Rupa Visual Arts, V0l. 4, No. 23, Februari-Maret 2008.
Diskusi