Joko Prastowo dan Penelitian Penyakit Berak Darah pada Ayam
Melihat
ayam-ayamnya tampak lesu, tidak mau makan, dan diare berdarah, tentu sang pemilik
akan lesu juga. Dengan gejala-gejala tersebut, maka ayam dapat didiagnosa
terjangkit penyakit koksidiosis atau lebih populer dengan sebutan “berak
darah”. Berdasarkan laporan penelitian, penyakit itu ditemukan pada setiap
periode pemeliharaan ayam di Indonesia.
Adalah
Joko Prastowo, seorang dosen UGM yang bertugas di lab parasitologi, secara
intensif telah meneliti tentang penyakit koksidiosis. “Salah satu keahlian saya
di bidang protozoologi. Protozoa-protozoa yang dikembangkan dalam penelitian
saya itu hubungannya dengan protozoa yang banyak menyerang pada hewan unggas.
Yaitu terutama pada koksidia,” tutur Joko.
Koksidiosis
menyerang saluran pencernaan dan mengakibatkan diare berdarah, penurunan berat
badan, paralisis, terlambatnya produksi telur, kualitas telur menurun dan
bahkan kematian. Penyebab penyakit ini adalah protozoa dari genus eimeria.
Eimeria sendiri terbagi menjadi empat tipe, yaitu: eimeria tenella,
eimeria necatrix, eimeria acervulina, dan eimeria maxima.
Di
Amerika Serikat koksidiosis menimbulkan kerugian sebesar U$ 34.854.000 per
tahun (levine, 1995). Sementara menurut Gordon (1997) kematian ternak ayam pada
suatu peternakan akibat koksidiosis dapat mencapai 5-10% dan kerugian di
seluruh dunia mencapai 50-100 juta poundsterling. Koksidiosis pada ayam muda
dapat menimbulkan kematian sampai 100%, hal ini disebabkan apabila terjadi
infeksi berat ditandai dengan hilangnya darah yang cukup banyak.
Siklus
hidup dari eimeria secara langsung yaitu tanpa melalui hewan lain untuk menularkan
penyakit koksidiosis. Ookista yang bersporulasi, merupakan stadium infektif
dari siklus hidup penyakit tersebut. Ookista dapat juga ditularkan secara
mekanik melalui pekerja kandang, peralatan yang tercemar atau dalam beberapa
kasus yang pernah terjadi dapat disebarkan melalui debu kandang dan litter/sekam
dalam jangkauan pendek.
Berat
tidaknya penyakit koksidiosis tergantung dari jumlah protozoa yang termakan. Berdasarkan
tingkat keparahannya penyakit koksidiosis dibagi menjadi 2 yaitu: koksidiosis
klinis (Eimeria tenella dan Eimeria necatrix) dan koksidiosis
subklinis (Eimeria maxima dan Eimeria acervulina).
Untuk
mengendalikan dan mencegah koksidiosis, para peternak biasanya memberikan
obat-obatan (koksidiostat) pada pakan dan minuman ternak. Tetapi efek negatif
dari obat ini menyebabkan resistensi pada parasit, yang membuat sulitnya dan
pemborosan uang untuk penemuan obat yang baru.
Selain
itu, koksidiostat sendiri harganya sangat mahal. “Memelihara ayam itu sangat
mahal untuk mencegah kejadian koksidia,” ungkap Joko.
Joko
yang ingin meringankan beban yang dipikul oleh para peternak baik petelur
maupun pedaging, mencoba solusi lain dalam pencegahan koksidiosis. “Nah, ini
kalau saya bisa menemukan sesuatu, tanpa adanya koksidiotat itu, kan, itu saya
bisa membantu peternak sangat luar biasa.” Ujar Joko.
Dengan
penelitiannya, ia mencoba mendapatkan sebuah sampel vaksin yang dapat mencegah
terjadinya koksidiosis. Dan kandidat vaksin yang potensial adalah sporozoit eimeria
tenella.
Selama
dua tahun di Jerman, Joko juga telah mempelajari tentang penyakit koksidiosis,
yaitu mengenai cara pencegahannya dan cara pengobatannya. “Pencegahannya salah
satunya dengan imunisasi. Nah, saya menggeluti bidang ini.” katanya.
Penelitian
Joko pun akhirnya berhasil menemukan salah satu bahan untuk bisa memberikan
kekebalan ayam terhadap penyakit koksidiosis. Dengan begitu ia berharap hasil
penelitiannya itu bisa dipergunakan oleh para peternak. Dan masyarakat dapat
lebih hemat biaya dalam mencegah koksidiosis sehingga keuntungan yang didapat pun
akan lebih besar.
Lelaki
yang lahir di Ngajuk enam bulan sebelum meletusnya peristiwa G 30 S PKI itu
menuturkan bahwa dia mulai melakukan penelitiannya tentang koksidiosis sejak
tahun 1992. Untuk tema penelitian pada S2 dan S3-nya pun, ia juga mengambil
tentang protozoa koksidiosis pada ayam itu.
Joko
sudah bertekad untuk melanjutkan penelitiannya. “Yang namanya penelitian yang
baik kan harus berlanjut,” ucap Joko.
Saat
ditanya, apakah hasil penelitiannya sudah dipatenkan? Ia menjawab, “Hak
patennya belum, ya itu mesti ada satu step lagi penelitian yang hubungannya
dengan membuat produk.”
Untuk
melanjutkan keinginannya itu tentunya Joko terus berusaha mendapatkan dana
untuk membiayai penelitiannya. “Kami selalu mengusulkan pendanaan-pendanaan,
namun demikian untuk menjadi step ke industri itu membutuhkan biaya yang
tinggi.” Ungkap Joko.
Mengenai
perhatian pemerintah kepada para peneliti, menurut Joko pemerintah telah
memberikan alokasi berupa hibah-hibah penelitian meskipun terbatas. Dan karena
ketidak seimbangan antara dana dengan jumlah peneliti, maka para peneliti harus
bersaing dengan menunjukkan kualitas yang lebih.
Joko juga ingin bekerjasama baik dengan
pemerintah maupun dengan pihak industri untuk mengembangkan hasil
penelitiannya. “Harapan kami, kami bisa kolaborasi paling tidak ya dengan
industri. Pemerintah-industri.” Kata dia.
Jika
dilihat dari manfaatnya yang begitu besar, maka hasil penelitian Joko ini patut
dikembangkan. Tapi karena kurangnya sosialisasi dan publikasi, maka penelitian Joko
menjadi tidak dikenal oleh masyarakat luas bahkan oleh para peternak ayam yang
menjadi sararan utamanya.
Joko
sendiri mengakui, komunikasi itu memang harus yang utama, salah satunya dengan
media massa. Ia berharap, mudah-mudahan dengan dimuat di media ini (Jurnal
Nasional) ada orang yang membaca. Kemudian orang itu mau menghubunginya dan
tertarik untuk mengembangkan hasil penelitiannya.
Terakhir
Joko kembali mengungkapkan harapannya. “Bagi kami sudah begitu jelasnya,” Joko
menegaskan, “Kami Sudah mempunyai bentuk produknya berupa vaksin, namun
demikian belum diindustrialisasikan, jadi hasil industrinya itu belum ada. Nah
ini kalau ada pembiayaan, siapa saja, kami selalu membuka diri kepada siapapun.”
(Yunisa,
wawancara Joko Prastowo, Thursday, January 01, 2009, 3:00:00 PM)
Diskusi