Mella Jaarsma, Seniman dari Belanda untuk Indonesia
Dari Negeri
Belanda terbang ke Indonesia demi bayangan. Itulah yang dilakukan Mella
Jaarsma, wanita kelahiran Emmeloord, Belanda, 9 Oktober 1960. Ia telah tersihir
oleh pesona bayangan di negeri yang pernah dijajah bangsanya.
Peraih
penghargaan The John D. Rockefeller 3rd Award, New York, USA 2006
ini, mengeksplorasi bayangan sebagai sumber ide karya-karyanya. Adapun
karya-karya Jaarsma ada dalam berbagai bentuk yaitu: lukisan, gambar, etsa,
patung, instalasi dan performance art.
Bagi Jaarsma,
bayangan merupakan refleksi dari hal-hal yang bersifat material. Dan semua itu
terjadi karena ada cahaya. Cahaya sendiri adalah immaterial. Jadi bayangan
adalah batas antara yang material dan immaterial.
Ketertarikan
Jaarsma pada bayangan, sebenarnya sudah ada sejak di Negeri Kincir. Tapi di
tanah kelahirannya itu, ia bekerja dengan bayangan hanya pada musim panas,
yaitu saat matahari bersinar terang.
Di Indonesia,
pada mulanya Jaarsma tertarik pada bayangan sehari-hari yang mengelilingi
orang-orang. Misalnya bayangan dari lampu minyak (teplok) yang diciptakan oleh
orang yang makan di balik tirai kain di warung dan bayangan dari wayang kulit.
Bayangan muncul tatkala di sana ada cahaya di kegelapan.
Kemudian kondisi
alamnya, dimana matahari bersinar sepanjang tahun dan bayangan ada dimana-mana.
Pergeseran matahari dari pagi ke siang memberikan dimensi dan bentuk bayangan
yang berbeda. Terang dan redupnya sinar juga sangat mempengaruhi bayangan diri
yang jatuh ke tanah. Jadi, di Indonesia Jaarsma mendapat pengalaman baru dengan
bayangan.
Mella Jaarsma
tinggal di Indonesia Sejak Tahun 1984. Ia
pernah belajar seni rupa di Akademie Minerva, Groningen, Institut
kesenian Jakarta dan Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Sejak tahun 1987, Jaarsma
tinggal di Yogyakarta. Kemudian tahun 1988, bersama suaminya, Nindityo
Adipurnomo, mendirikan Rumah Seni Cemeti.
Ketertarikan
Jaarsma pada bayangan, tidak sebatas pada wujud bayangan secara fisik, tapi
lebih mendalam. Ia mempelajari filosofi wayang terutama yang berhubungan dengan
bayangan. Ternyata bayangan merupakan intermedia untuk orang yang hidup dan
yang sudah mati atau antara dewa dan rakyat, media transformasi etika dan
kebenaran antara yang ada di atas dan rakyat yang ada di bawah.
Dalam
perkembangannya Jaarsma tidak hanya tertarik pada bayangan. Gagasan-gagasan
(ide) dalam berkarya, juga berasal dari segi-segi yang sering diambil sebagai
segi yang tak terhindarkan pada keberadaan manusia: kelahiran, kehidupan, dan
kematian. Jaarsma dapat mengangkat keluar segi-segi ini dari kenyataan atau kejelasan
itu yang senyata-nyatanya.
Dengan
ditambah individualitasnya, wawasannya dan nilainya, dan dengan memperlakukan
segi-segi itu dengan sebuah pendekatan yang hampir fisik sifatnya. Segi-segi
kehidupan yang sering kita anggap benar dan pasti – kelahiran, kehidupan, kematian
– menjadi subyek yang bebas di dalam
kesenian Jaarsma.
Permukaan
karya-karya Jaarsma tak pernah dibatasi oleh imaji-imaji (citra) yang
dipertimbangkan sebelumnya. Namun, ada semacam ikatan yang kuat yang
mengumpulkan keragaman itu. Di bawah permukaannya ada sebuah spiritualitas yang
tak terbatas. Tak terbatas karena di situ tak ada konsep falsafah, teoritis
atau religius yang khas, yang bercokol dalam karya-karyanya.
Lewat
karya-karyanya, Jaarsma ingin membagikan pengalaman pribadi. Tidak berarti
bahwa ia ingin menggurui penonton, tetapi ia mencoba mengajak penonton berfikir
tentang pengalaman itu, tentang kelahiran, kehidupan dan kematian. Dengan
berfikir maka akan semakin sadar akan arti kehidupan.
Berhubungan
dengan hal di atas, permasalahan yang Jaarsma angkat, tidak selalu ditampilkan
secara eksplisit. Ia lebih suka ada ruang bagi penonton agar mereka bisa
menginterpretasikan karyanya dengan lebih luas. Biar permasalahan dapat dicerna
sesuai pengalaman pribadi.
Mella Jaarsma
memang gemar berkarya dengan hal-hal yang kontras merenung akan kematian
sekaligus pula menyatakan kehidupan. Dan jika ditanya, kenapa tertarik dengan
hal yang kontras? Maka jawabnya, dalam kehidupan kita semakin memahami makna
kebaikan karena ada ketidakbaikan, kita merasakan warna hijau karena
disampingnya ada warna merah. Kita bisa menyadari kehidupan kalau kita tahu
akan ada kematian. (Yunisa)
Sumber:
Shadow-Death-Birth (Katalog Pameran), 1994
Think it or not (Katalog Pameran), 1997
Diskusi