Wedhar Riyadi, Seniman yang Terjerumus di Dunia Komik
Ia telah terjerumus. Terjerumus begitu dalam hingga lupa akan dunia manusia. Ia terjerumus di dunia yang dipenuhi dengan makhluk-makhluk fiksi yang sering berkarakter lucu, dunia kartun-komik. Dan ia pun memutuskan untuk hidup dan mengabdi dengan sepenuh jiwa kreatifnya di dunia yang sudah dikenalnya itu.
Wedhar Riyadi |
Peraih penghargaan Pratisara Affandi Adhi Karya untuk Karya Seni Lukis Cat Minyak Terbaik ini, sejak kecil telah mengenal kartun dalam komik. Ia membaca hampir semua jenis komik termasuk komik-komik wayang dengan teks bahasa Jawa. Seperti kebanyakan remaja generasi 80-an, ia menggunakan komik sebagai referensi untuk memuaskan bakat menggambarnya.
Mula-mula ia mengkopi berbagai gambar pada komik, kemudian menciptakan gambar dengan memodifikasi gambar-gambar komik itu. Kemampuan menghasilkan gambar-gambar yang bagus menurut ukuran lingkungan dan kawan-kawannya, membuat Wedhar Riyadi jatuh cinta pada komik.
Ketika masuk di Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tahun 1999, sebetulnya Wedhar belum memutuskan untuk menggunakan dunia komik untuk membangun bahasa ungkapannya. Ia dan para pengajar di pendidikan senirupa tidak membayangkan komik bisa diangkat ke dunia seni karena citra komik masih saja buruk di tanah air walau di Eropa komik sudah menjadi barang koleksi.
Setelah bergabung dengan Apotik Komik dan juga terlibat dalam Daging Tumbuh, Wedhar baru mulai menjadikan dunia populer itu sebagai media ekspresinya. Ini terjadi pada tahun 2002. Sejak itu ia mengembangkan bahasa komik sebagai bahasa ungkapnya. Ia merasa kegilaannya pada komik akhirnya menyatu dengan kerja melukisnya.
Wedhar tidak mengembangkan gambar komik realistic. Ia menjelajahi gambar-gambar kartun. Dengan garis-garis dan juga warna yang datar ia membangun gambaran kenyataan. Ia mengembangkan gambaran realistic melalui gambar kartunistik dan berhasil dalam hal ini. Gambaran pemandangan alam, pemandangan kota dan dunia obyek pada karya-karyanya tidak tampil sebagai poaster. Obyek-obyek ini tidak kehilangan ruang karena ruang ilusif yang dibangunnya melalui garis bisa menampilkan citra yang realistic.
Pada lukisan-lukisannya yang berukuran besar, garis-garis tidak lagi menjadi sekedar media untuk membangun gambaran. Seperti brush strokes pada lukisan ekspresif, garis-garis ini menampilkan berbagai tekanan pada sebuah kedataran (tercermin pada luncuran dan tebal-tipisnya). Dengan tekanan-tekanan artistik yang tetap memperlihatkan sifat komik, Wedhar menampilkan berbagai pesan pada karyanya.
Lukisan-lukisan Wedhar mencerminkan perkembangan mutakhir di dunia komik yang tidak mengandalkan teks untuk bernarasi. Gambar hampir mengambil semua peran dalam membangun cerita. Ia bisa dibuat seperti dalam permainan angle kamera, menyajikan close-up atau long shot.
Meskipun Wedhar tidak pernah meninggalkan narasi, penyusunan cerita pada karya-karyanya tidak terikat pada keharusan bisa diikuti karena ia tidak sedang membuat komik. Kondisi ini memungkinkan narasi pada karya-karyanya seringkali bertumpuk. Latarbelakang yang menjadi setting pada lukisannya mempunyai ruang yang berbeda dengan ruang yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dan tidak sama dengan ruang di mana berbagai benda ditampilkan. Jadi tidak linier.
Mengenai setting yang sering muncul pada lukisan-lukisan Wedhar, adalah ruang hidup di kota besar Yogyakarta di mana ia tinggal. Ruang ini punya cerita sendiri dan menjadi latar belakang yang tidak terlalu peduli pada cerita apa pun yang ditampilkan di atasnya. Ruang hidup, pemukiman padat di Yogyakarta yang menyerupai perkampungan. Wedhar menampilkannya sebagai dwelling (ruang hidup yang bersifat personal).
Dalam menggambarkan setting ini, ia menjadi seperti seorang arsitek yang merancang rumah atau bangunan dengan perhitungan kehidupan manusia di dalamnya. Wedhar merasa, ruang urban yang unik di Yogyakarta sebagai ruang hidupnya, dan bukan sebagai persoalan social yang berjarak dengannya. Ia bagian dari masyarakat dan bukan seniman intelektual.
Mengenai proses berkarya, Wedhar selalu mulai dari suatu topic yang diangkatnya dari pengalaman personal yang dianggapnya berkesan dan mengandung masalah. Kadang-kadang gagasan ini cukup jelas. Pada lukisan narasinya yang tampil melalui metafora mudah ditangkap.
Namun kadang-kadang gagasan ini tidak jelas. Narasinya baru menjadi jelas pada proses penyelesaian yang labil, setiap saat bisa berubah. Wedhar mengemukakan, ketika menghadapi gagasan kabur semacam ini, lukisannya seperti selesai dengan sendirinya. Pada proses seperti ini ia merasakan kesenangan membangun gambaran yang diikuti berbagai perasaan yang selalu berujung pada narasi. Ini memanifestasi passion Wedhar pada komik.
Selain berkarya, sejak 1999 Wedhar Riyadi juga aktif mengikuti pameran. Adapun pameran yang pernah dilakukan antara lain: Pameran Seni Rupa Kelompok Kosong, Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta (1999), Pameran Gelar Budaya Kotagede, Galeri Omah Dhuwur, Kotagede, Yogyakarta (2000), Kabinet Komikindie, Gelaran Budaya, Yogyakarta (2001), Mural Kota Sama-sama, Apotik Komik, Yogyakarta (2002), "Age-hibition", Edwin's Gallery, Jakarta (2003), "Barcode", FKY XVI, Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta (2004), “Ayo Ngguyu”, Pameran Ulang Tahun Bentara Budaya Yogyakarta, Bentara Budaya Yogyakarta, Yogyakarta (2005), "Midnight Live Mural Project", Pasar Beringharjo, Yogyakarta (2006), dan "One Month Shop", Kedai Kebun Forum, Yogyakarta 2007".
Secara menarik, Wedhar Riyadi terbukti mampu mengadaptasi konsep flatness dalam komik ke dalam seni lukis. Ia adalah sosok yang terbuka terhadap perubahan dan punya kemampuan teknis yang sangat baik. Karyanya yang konstekstual dengan isu-isu zaman, telah tercipta dalam ragam media, terutama seni lukis. (yunisa)
Sumber:
Jim Supangkat, Expression of Desire, dalam Katalog Pameran tunggal Wedhar Riyadi, Expression of Desire, Jakarta, Ark Galerie, Agustus 2008.
http://desaingrafisindonesia.wordpress.com
http://www.garisart.com
http://wedharriyadi.blogspot.com
http://framesmagazine.com
Diskusi