Dalang G 30 S/PKI dan Pembantainya adalah Sama?
Sekali
kayuh, dua pulau terlampaui. Sekali tekuk, dua musuh ambruk.
Agaknya seperti itulah gambaran G 30 S.
Njono, anggota
Politbiro PKI, dengan terus terang mengakui bahwa yang merencanakan,
menggerakkan, dan
bertanggung jawab terhadap gerakan kontra revolusi “Gerakan 30 September”
adalah PKI.[1]
Tapi setelah dilaksanakan berbagai hipotesis dan analisis, terungkap ada
beberapa keganjilan pada siapa dalang sebenarnya dalam gerakan 30 September.
Keganjilan
pertama, tiga orang penggerak G-30-S (Latief, Untung, dan Soepardjo), dikenal sebagai
orang-orang dekat Soeharto. Karena itulah muncul anggapan bahwa jangan-jangan
baik penggerak maupun penumpas G-30-S dimotori oleh orang yang sama atau di bawah
komando Soeharto.
Kedua,
ternyata satu kompi batalyon 454 Diponegoro Jawa Tengah dan satu kompi Batalyon
530 Brawijaya Jawa Timur, yang secara terselubung digunakan sebagai penggerak
G-30-S (bahkan belakangan Batalyon 530 juga digunakan Soeharto untuk menumpas
G-30-S), ternyata merupakan pasukan Raider elite yang menerima bantuan AS sejak
1962.
Lebih dari
itu, para penggerak Gestapu, ternyata pernah dilatih di AS. Ini menarik karena
dalam tradisi yang dikembangkan di Pentagon, setiap orang asing yang mengikuti
pelatihan tersebut merupakan orang-orang yang telah melewati seleksi ketat
dinas Intelijen Amerika. Karena itu cukup mengejutkan bahwa ketiga penggerak
utama G-30-S itu ternyata merupakan kader Komunis.
Namun di mata
seorang sumber yang pernah dibina langsung oleh CIA, hal semacam itu dapat saja
terjadi. Ada beberapa pola perekrutan yang lazim dilakukan oleh CIA. Pertama,
beberapa orang direkrut dan dibina dengan maksud untuk menjadikan bagian
langsung dari organ CIA. Kedua, ada orang yang direkrut semata-mata untuk
tujuan yang bersifat temporer. Ketiga, boleh jadi orang yang direkrut tidak
menyadari bahwa dirinya sedang dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan dan
kepentingan-kepentingan tertentu. Dengan jalan berfikir seperti itu, bukan
tidak mungkin kalau Untung, Latief, dan Soepardjo secara sadar diterima dalam jaringan CIA justru
untuk digunakan sebagai penunjang sekenario besar CIA menggulingkan Bung Karno,
sekaligus menghancurkan PKI. Dan wajar saja jika kemudian ada pertanyaan
seberapa jauh hubungan Soeharto dengan CIA.
Sekelompok
kecil peneliti akademis AS yang dimotori Dr. Guy Pauker mulai mengadakan kontak
dengan pihak angkatan darat. Tujuannya menggalang kekuatan anti-komunis di Indonesia. Salah
seorang kawan dekat Pauker di angkatan darat adalah wakil komandan SSKAD
Jenderal Suwarto seorang perwira lulusan AS. Sementara itu pada tanggal 1959,
Soeharto yang masih berpangkat kolonel, mulai masuk SSKAD.
Di situlah
kontak intensif Suwarto-Soeharto bermula. Sejak itu, Suwarto membina Soeharto dalam
penyusunan doktrin perang
wilayah dan operasi karya. Operasi karya mendapat bantuan penuh dari Amerika
melalui suatu program yang disebut MILTAG. Operasi karya resminya merupakan
proyek-proyek sipil,
tapi merupakan operasi terselubung untuk membangun kontak-kontak dengan unsur-unsur
anti-komunis dalam
angkatan darat beserta organisasi wilayahnya.
Besar
kemungkinan berbagai manuver membina Soeharto dalam rangka menjalankan rencana
Amerika mendongkel Bung Karno pun dimulai. Menurut keterangan berbagai sumber,
beberapa bulan menjelang meletusnya G-30-S, beberapa veteran PRRI/Permesta di
bawah pimpinan Yan Walandouw berkunjung ke Wasington. Tujuannya meminta
dukungan Amerika agar Soeharto dapat menjadi Presiden mengganti Bung Karno.
Mengapa CIA
memilih Soeharto? Karena saat itu Soeharto adalah pihak yang sakit hati. Betapa
tidak, antara 1956-1959, Soeharto menjabat sebagai Pangdam Diponegoro. Namun
pada perkembangannya, Nasution melihat ada indikasi keterlibatan Soeharto dalam
tindak korupsi dan penyelundupan. Alhasil jabatan Soeharto dicopot. Sebagai
gantinya, dia dikirim ke SSKAD untuk tugas belajar. Saat di SSKAAD, sempat ada usul Soeharto
menjadi ketua senat. Akan tetapi,
usulan itu ditentang oleh D.I. Panjaitan. Alasannya, watak Soeharto yang kurang baik – Soeharto
terlibat kongsi dagang dengan pengusaha Cina, Liem Sioe Liong dan Bob Hasan
sembari menjalankan tugas kemiliteran. Karena itu, Soeharto pun jengkel terhadap D.I. Panjaitan.
Dalam situasi
demikian, sasaran skenario Soeharto-CIA jadi jelas, yaitu menyingkirkan para perwira
angkatan darat yang dianggap loyal kepada Bung Karno, sekaligus menciptakan
kesan adanya konspirasi AURI-PKI dalam mendalangi G-30- S. Boleh jadi ini pun
merupakan bagian dari skenario besar CIA untuk menyingkirkan AURI, yang
dianggap dekat dengan Bung Karno.[2]
Sejak awal, Soeharto sangat dekat
dengan orang-orang PKI seperti Sjam Kamaruzzaman saat di perkumpulan Patuk.
Kemudian Untung dan Latief juga sudah menjalin hubungan perkoncoan dengannya.
Namun oleh PKI, Soeharto dianggap sebagai orang yang tidak tepat dijadikan
kader. Moralnya dianggap kurang baik dan tidak bisa dipercaya. Tapi, Biro
khusus tidak melepaskannya. Ia tetap dibina dengan kategori sebagai “orang yang
dimanfaatkan”. Walau akhirnya ia jauh lebih licin dibanding pihak yang
memanfaatkannya.
Target awal
pelaku G-30-S adalah membunuh Presiden Sukarno. Ini akan dilakukan saat
peringatan Hari Angkatan Bersenjata, 5 Oktober 1965. Pembunuhan dibuat seperti
pembunuhan presiden Mesir Anwar Sadat -- ketika pasukan berparade, Soekarno akan
ditembak di panggung kehormatan. Yang bertugas memberondong presiden adalah
pasukan Batalyon 503 Brawijaya dan Batalyon 454 Diponegoro. Batalyon ini memang
khusus diundang oleh Pangkostrad untuk mengikuti upacara. Anggota diperintahkan
untuk mengisi peluru secara penuh semua senjata yang dibawanya. Tapi, hal itu
diketahui secara tak sengaja oleh komandan Batalyon 305 Ali Rahman yang juga
hadir. Ali Rahman bingung karena pasukannya tidak diberi peluru. Kegagalan
rencana dalam membunuh Soekarno dalam upacara hari angkatan bersenjata
merupakan sebab perubahan sekenario gerakan. Maka digunakan skenario baru,
yakni menempatkan Soekarno dan Aidit dalam satu paket dalang gerakan.
Ini suatu
indikasi, ada koordinasi antara Soeharto dengan para pelaku G-30-S. Sebab,
kedua Batalyon itu ditugaskan untuk mengepung istana, sejak malam penculikan
(30 September) hingga esok hari. Apalagi ternyata pada pagi 1 Oktober itu,
Brigjen Soepardjo mengaku ditugaskan untuk menekan, bila perlu membunuh
Presiden Soekarno. Tapi malam itu, Presiden tidak
bermalam di Istana Merdeka.
Sebenarnya
Soeharto sudah tahu akan adanya gerakan. Oleh para jenderal, Soeharto waktu itu
dianggap bodoh karena itu tidak masuk Dewan Jenderal yang dipimpin Yani. Tapi, ia lihai memanfaatkan
situasi. Ia membiarkan semua jenderal dihabisi, lalu menghabisi PKI sampai ke
akar-akarnya.
Soeharto
mengulur-ulur waktu buat merebut kembali RRI, padahal gedung RRI berada di
seberang markas Kostrad. Keganjilan
lain, mengapa Soeharto yang sudah memerintahkan Batalyon 530 berjaga-jaga di
kawasan Monas dan Istana Negara, yang juga berdekatan dengan RRI dan kantor
telekomunikasi yang diduduki para pelaku, tidak bertindak cepat, serta membiarkan
para pelaku bertindak semaunya?
Meledaknya
G-30-S seperti membuat Soeharto merasa di atas angin dan bisa bertindak apa pun.
Dia, atas bantuan CIA, membantai tak kurang dari 250.000 nyawa. Aksi
pembantaian didahului dengan mengkondisikan masyarakat Indonesia antipati
terhadap PKI, melalui berita media massa bahwa PKI telah melakukan penyiksaan
biadab terhadap para jenderal yang menjadi korban G-30-S. Dan ini sangat
efektif membakar emosi massa.
Soeharto tidak
hanya keras terhadap lawan-lawannya, tetapi juga terhadap teman-teman dekat yang banyak membantunya mencapai
kekuasaan. Metode yang dipakai Soeharto adalah habis manis sepah dibuang. Soeharto juga tangkas menyingkirkan
kawan-kawannya yang berpotensi menyaingi figurnya. Itu dilakukan untuk
terhindar dari fenomena ratu kembar. (Antek Sejarah)
Diskusi